Macam-macam
kebudayaan Aceh
1. Budaya Bercocok Tanam
Bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal
ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni Panglima Uteuen yang
dibawahi beberapa struktur adat lainnya seperti Petua Seuneubôk, Keujruen
Blang, Pawang Glé, dan sebagainya.
Sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam,
fungsi Petua Seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk sendiri maknanya adalah suatu
wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya berupa hutan. Hutan tersebut
kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan lahan seuneubôk harus selalu
memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi
anggota seuneubôk dan lingkungan hidup itu sendiri. Maka fungsi Petua Seuneubôk
menjadi penting dalam menata bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap
Keujruen Blang.
2. Budaya Membuka Lahan Perkebunan
2. Budaya Membuka Lahan Perkebunan
Bagi masyarakat Aceh terdapat sejumlah aturan yang sudah
hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Kearifan masyarakat Aceh juga terdapat
dalam larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter dari tepi danau,
200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar
100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai
(alue).
3. Pamali atau Pantangan
Selain itu, dalam adat Aceh dikenal pula sejumlah pantangan
saat membuka lahan di wilayah seuneubôk. Pantangan itu seperti peudong jambô
(mendirikan gubuk). Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas lelah sudah
tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang (bercocok tanam), jambô tidak
boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas atau tempat-tempat yang
diyakini ada makhluk halus penghuni rimba. Bahan yang digunakan untuk penyangga
gubuk juga tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan akar (uroet), karena
ditakutkan akan mengundang ular masuk ke jambô tersebut.
Ada pula pantang daruet yang maksudnya anggota seuneubôk
dilarang menggantung kain pada pohon, mematok parang pada tunggul pohon, dan
menebas (ceumeucah) dalam suasana hujan. Hal ini karena ditakutkan dapat
mendatangkan hama belalang (daruet).
Selain itu, di dalam kebun (hutan) juga dilarang
berteriak-teriak atau memanggil-manggil seseorang saat berada di hutan/kebun.
Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama atau hewan yang dapat merusak
tanaman, seperti tikus, rusa, babi, monyet, gajah, dan sebagainya.
Disebutkan pula bahwa dalam adat Aceh terdapat pantangan
masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena orang Aceh kental
keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan dengan “hari-hari
agama”.
Aceh juga mencatat sejumlah larangan atau pantangan dalam
perilaku. Hal ini seperti memanjat atau melempar durian muda, meracun ikan di
sungai atau alue, berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan seuneubôk,
mengambil hasil tanaman orang lain semisal buah rambutan, durian, mangga, dll.,
walaupun tidak diketahui pemiliknya, kecuali buah yang jatuh. Larangan tersebut
tentunya menjadi cerminan sikap kejujuran dalam kehidupan di bumi yang mahaluas
ini.
4. Adat Bersawah
Dalam bersawah (meupadé), juga terdapat sejumlah ketentuan
demi keberlangsungan kenyamanan dan keamanan bercocok tanam. Hal ini seperti
hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya adalah tidak boleh memotong kayu
saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama
wereng (geusong). Demi menghindari sawah sekitar ikut imbas hama wereng, bagi
si pelanggar ketentuan itu dikenakan denda oleh Keujruen Blang.
5. Bahasa
Provinsi Aceh memiliki 13 buah
bahasa asli yaitu bahasa Aceh, Gayo, Aneuk
Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon
dan Nias.
6.
Agama
Sebagian besar penduduk di
Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh
hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama lain yang dianut oleh penduduk di
Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang
suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan
bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu. Selain
itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain,
karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian
besar warganya yang menganut agama Islam.
v Sistem
Kekerabatan
Kelompok kekerabatan yang terkecil
adalah keluarga batih yang terdiri dari ayah,ibu dan anak-anak yang belum
menikah. Namun bagi anak laki-laki sejak berumur 6 tahun hubungannya dengan
orang tua mulai dibatasi. Proses sosialisasi dan enkulturasi lebih banyak
berlangsung di luar lingkungan keluarga.
v Kesenian
Corak kesenian Aceh memang
banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah diolah dan disesuaikan
dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh
antara lain seudati, seudati inong, dan seudati tunang. Seni lain yang
dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada
berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya.
Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam,
seperti Hikayat Perang Sabil.
Bentuk-bentuk kesenian Aneuk
Jamee berasal dari dua budaya yang berasimilasi. Orang Aneuk Jamee mengenal
kesenian seudati, dabus (dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur tari, musik,
dan seni suara. Selain itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang
tokoh yang dibumbui dengan dongeng.
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di
kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami
kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal,
antara lain tari saman dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk
hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual,
pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan
keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk
kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat),
yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
v Asimilasi
dalam Budaya Aceh
Setiap bangsa mempunyai corak
kebudayaan masing-masing. Kekhasan budaya yang dimiliki suatu daerah merupakan
cerminan identitas daerah tersebut. Aceh memiliki banyak corak budaya yang
khas.
Kebudayaan juga merupakan
warisan sosial yang yang hanya dapat dimiliki oleh masyarakat yang
mendukungnya. Prof Dr H Aboebakar Atjeh dalam makalahnya pada seminar Pekan
Kebudayaan Aceh (PKA) II, Agustus 1972 menulis bahwa pada awalnya adat dan
budaya Aceh sangat kental dengan pengaruh Hindu. Ia merujuk pada beberapa buku
sebelumnya yang pernah ditulis oleh ahli ketimuran.
Hal itu terjadi karena sebelum
Islam masuk ke Aceh, kehidupan masyarakat Aceh sudah dipengaruhi oleh unsur
hindu. Setelah Islam masuk unsur-unsur hindu yang bertentangan dengan Islam
dihilangkan, namum tradisi yang dinilai tidak menyimpang tetap dipertahankan.
Semua kota-kota hindu tersebut setelah islam kuat
di Aceh dihancurkan. Bekas-bekas kerajaan itu masih bisa diperiksa walau sudah
tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, Kecamatan Ulim (perbatasan Ulim
dengan Meurah Dua), reruntuhan di Ladong. Bahkan menurut H M Zainuddin, mesjid
Indrapuri dibangun diatas reruntuhan candi. Pada tahun 1830, Haji Muhammad,
yang lebih dikenal sebagai Tuanku Tambusi juga meruntuhkan candi-candi dan
batunya kemudian dimanfaatkan untuk membangun mesjid dan benteng-benteng.
Asimiliasi adat dan budaya
itulah kemudian melahirkan budaya adat dan budaya Aceh sebagaimana yang berlaku
sekarang. Sebuah ungkapan bijak dalam hadih maja disebutkan, “Mate
aneuék meupat jeurat, gadoh adat pat tamita.” Ungkapan ini bukan
hanya sekedar pepatah semata. Tapi juga pernyataan yang berisi penegasan
tentang pentingnya melestarikan adat dan budaya sebagai pranata sosial dalam
hidup bermayarakat.
Adat dan kebudayaan juga
mewariskan sebuah hukum non formal dalam masyarakat, yakni hukum adat yang
merupakan hukum pelengkat dari hukum yang berlaku secara umum (hukum positif).
Disamping tunduk kepada hukum positif, masyarakat juga terikat dengan hukum dan
ketentuan adat.
Aceh memiliki kekhasan
tersendiri dalam hukum adat dengan berbagai lembaga adatnya yang sudah ada
semenjak zaman kerajaan. Hukum adat tersebut telah disesuaikan dengan filosofi
hukum Islam, sehingga sukar dibedakan antara hukum dan adat itu sendiri.
Seperti tercermin dalam hadih maja, hukôm ngôn adat lagèë
zat ngôn sifeut, syih han jeut meupisah dua.
v Pola
Hidup & Golongan Masyarakat Aceh
Bentuk kesatuan hidup setempat
yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang
geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang
dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim
yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada
sultan.Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh
pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku
bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Sedangkan Golongan Masyarakat
aceh, pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di
antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan,
golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa. Golongan
keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa.
Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk laki-laki,
dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang keturunan
bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan.
Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim
disebut Teungku atau Tengku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar